Home » , , , » Anak-anak Umumnya Kurang Terpapar Sinar Matahari

Anak-anak Umumnya Kurang Terpapar Sinar Matahari

TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah penelitian tentang kecukupan vitamin D pada anak-anak dilakukan beberapa dokter di Indonesia. Penelitian pada tahun lalu itu melibatkan dua sekolah dasar di wilayah Jakarta Timur. Salah satunya sekolah elite dengan latar belakang siswa dari golongan menangah atas. Satu lagi sekolah biasa dengan siswa yang kebanyakan berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah.

"Hasilnya mengagetkan. Siswa sekolah upper middle class dengan siswa sekolah lower middle class sama-sama babak belurnya. Angka kekurangan vitamin D yang dialami siswa begitu tinggi," kata dokter spesialis anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Dr. Aman Pulungan, SpA (K) dalam seminar media tentang vitamin D di FX Plaza, Senayan, Jakarta.

Aman menjelaskan, sebanyak 75,9 persen anak mengalami insufficiency (kadar tidak cukup) vitamin D. Adapun anak yang berada pada tahap defisiensi (kekurangan) vitamin D sebanyak 15 persen. Sejauh ini pemerintah tidak punya data secara nasional. Namun penelitian tersebut, kata Aman, cukup memberi gambaran gawatnya status vitamin D pada anak-anak.

"Di Jakarta saja keadaannya seperti itu, bagaimana dengan anak di daerah," ujar Aman yang juga menjadi Ketua II PP Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Penyebab dari kurangnya status vitamin D tersebut adalah rendahnya kandungan vitamin D pada makanan yang dikonsumsi. Jajanan mereka adalah snack rendah nutrisi semacam chiki. Yang tidak kalah penting adalah minimnya paparan anak-anak terhadap sinar matahari. Siswa dari sekolah elite terhindar dari paparan sinar matahari karena pulang-pergi menggunakan mobil. Di sisi lain, siswa dari sekolah biasa kurang terpapar sinar matahari karena takut panas. Kalau pergi sekolah mereka minggir-minggir cari tempat yang tidak kena matahari.

"Padahal, paparan sinar matahari yang berlangsung di pagi hari adalah 80 persen sumber alami vitamin D," kata Aman.

Vitamin D memang agak unik. Walaupun disebut sebagai vitamin, tetapi vitamin D sesungguhnya bukan benar-benar vitamin. Ia sebenarnya adalah hormon yang disebut dengan calcitrol. Saat kulit terpapar dengan sinar ultraviolet B, calcitrol mengubah 7-dehydrocholesterol (yang terdapat pada kulit dan aliran darah) menjadi vitamin D. Setelah itu, hati dan ginjal akan mengaktivasikannya dan mengatur penyerapan kalsium dan fosfor ke organ tubuh yang membutuhkan, terutama tulang dan gigi.

Dengan pigmen kulit yang dimiliki masyarakat Indonesia, idealnya durasi paparan sinar matahari yang dibutuhan adalah 5 x 90 menit atau 450 menit per minggu. Ini agak berbeda dengan masyarakat kulit putih yang cukup dengan paparan 3 x 30 menit per minggu. "Tapi dengan gaya hidup anak-anak sekarang, tidak mungkin paparan sebanyak itu terjadi," kata dia.

Aman menuturkan, meskipun terdapat sejumlah bahan makanan yang menjadi sumber vitamin D, seperti ikan salmon, ikan tuna, minyak hati ikan cod, susu, serta kuning telur, namun dengan jumlah dosis ideal yang disarankan, mengkonsumsi bahan makanan tersebut belum cukup memenuhi kebutuhan vitamin D. Oleh karena itu, pemberian suplementasi vitamin D juga tetap harus dibarengi dengan paparan sinar matahari. Spesialis bedah tulang Dr Muki Partono, SpOT menambahkan jumlah dosis vitamin D pada seseorang dengan paparan sinar matahari yang rendah adalah antara 600-1.000 international unit (IU). Sementara pada orang tua dengan usia lebih dari 70 tahun dan pasien cyctic fibrosis berkisar antara 800-1.000 IU.

Banyak fungsi yang diperankan vitamin D. "Selain meningkatkan kekebalan tubuh, vitamin D juga berfungsi dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, mineralisasi tulang, serta penyerapan kalsium," kata Muki. Sejumlah penyakit tulang akibat kekurangan vitamin D misalnya adalah terjadinya osteoporosis (pengapuran tulang) serta osteomalasia (pelunakan tulang). Sementara pada anak-anak adalah terjadinya rickets (rakhitis), yaitu pelunakan dan melemahnya tulang pada anak-anak akibat kekurangan vitamin D.

"Jangan sampai anak-anak tumbuh dengan rickets. Kalau sudah jadi rickets sudah susah mengutak-atiknya," kata Aman. Rickets  paling sering terjadi pada dua periode, yakni pada masa bayi (di bulan-bulan pertama) dan anak-anak. Akan tetapi, insiden tertinggi umumnya terjadi di usia 3-18 bulan. Rakhitis juga sering terjadi pada bayi dari ibu yang asupan vitamin D-nya kurang. Untuk menhindari terjadinya rakhitis pada janin, pada ibu hamil dengan risiko tinggi diwajibkan untuk mengonsumi suplemen vitamin D dengan dosis 400 IU per hari dimulai sejak masa neonatus sampai usia satu tahun. Selain itu, pencegahan rakhitis pada bayi juga dilakukan dengan memberikan ASI setelah persalinan.
AMIRULLAH

0 comments:

Posting Komentar