Home » , , , , » Benci Pekerjaan Bikin Rentan Kesehatan

Benci Pekerjaan Bikin Rentan Kesehatan

TEMPO.CO, Jakarta - Selama hidupnya, 27 tahun, baru kali ini Tari merasa sakit kram di bagian perut. Kejadiannya kira-kira sebulan yang lalu di kantornya. Rasa sakit menyerang di ulu hati sampai ia sulit bergerak. Setelah mendapat izin dari bos, ia segera ke rumah sakit di dekat kantornya di Pluit, Jakarta Utara. Hasil pemeriksaan menunjukkan asam lambungnya naik, sehingga memicu sakit mag.

"Saya baru tahu ada sakit mag," kata perempuan lajang itu. Dokter mengatakan ada kemungkinan ia mengalami stres tingkat tinggi, sehingga asam lambungnya meningkat.

Perkataan itu membuatnya tersadar. Sudah setahun belakangan ia menghadapi masalah di tempat kerja. Bosnya selalu bersikap tidak menyenangkan. Ditambah lagi kondisi finansial perusahaan yang tidak menentu. "Mau masuk kantor saja, perut sudah mules duluan," ujar Tari.

Ia jadi membenci pekerjaannya sebagai asisten manajer sumber daya manusia. Padahal, ketika dua tahun lalu bekerja di tempat itu, ia masih semangat bekerja dan bersosialisasi dengan teman-teman di kantor. Tekanan dari bos, menurut Tari, yang membuatnya tidak kerasan. Beberapa kali hasil kerjanya tidak dihargai plus mendapat caci-maki di depan kolega yang lain.

Konflik batin mulai muncul ketika perusahaan tidak memberikan gajinya tepat waktu dalam dua bulan terakhir. Ia menjadi tidak kerasan dan membenci pekerjaannya. Keinginan untuk keluar dari perusahaan tambang itu semakin menguat. "Tapi saya belum menemukan pekerjaan yang baru," katanya. Alasan ini yang membuatnya tetap bertahan. Ia mengaku kondisi psikisnya menjadi lemah. Pusing dan sakit perut sudah biasa dirasakan. Masalah lainnya, jerawat banyak tumbuh di muka. "Padahal dulu saya enggak jerawatan," ujar Tari.

Kondisi ini juga dialami Lina, 27 tahun. Masalah manajerial di perusahaannya membuat dia stres. Migrain hingga insomnia ia rasakan sehari-hari. "Tidur selalu pukul 02.00," katanya. Pernah juga ia mengalami sakit perut hingga diduga ada kista di peranakannya. Untung saja vonis itu meleset. Tapi ia tetap merasa mulas beberapa kali ketika harus ke kantor.

Perasaan ingin keluar sudah menggebu-gebu hingga ia merasa membenci pekerjaannya. Beberapa kali ia bertanya-tanya mengapa tidak langsung mengundurkan diri saja. Namun, seperti Tari, ia tidak mau kehilangan penghasilan. Selain itu, Lina merasa masih memiliki banyak tanggung jawab terhadap perusahaan itu. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan membuat bisnis berjualan baju secara online dan kursus bahasa Inggris. "Daripada pusing mikirin kantor terus," katanya.

Sikap karyawan yang membenci pekerjaannya sangat merugikan perusahaan. Sebuah studi di John Molson School of Business Concordia University, Kanada, membuktikan sikap itu juga rentan terhadap masalah kesehatan. Tubuh karyawan menjadi mudah lelah, stres, dan tidak bersemangat. Akibatnya, kinerja pun merosot. "Ada kemungkinan hal ini karena ketiadaan ikatan emosional dengan organisasi dan pekerjaan," ujar asisten profesor Alexandra Panaccio.

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Human Relations ini menemukan para pekerja yang bertahan sekadar memenuhi kewajiban cenderung mengalami masalah kesehatan fisik dan mental. Perasaan ini juga biasa terjadi pada karyawan yang bekerja hanya karena tidak ada pilihan lain. Penelitian ini melibatkan 260 karyawan dari berbagai industri, antara lain teknologi industri, jasa sumber daya manusia, pemasaran, pelayanan kesehatan, dan arsitektur.

Karyawan yang merasa tidak punya pilihan lain kecuali bertahan cenderung mengalami kelelahan emosional. "Pada akhirnya, mereka meninggalkan perusahaan," kata Panaccio.

Perusahaan bisa mengatasi masalah itu dengan cara aktif bekerja sama dan berkomunikasi dengan karyawan. Pengembangan kompetensi dapat meningkatkan mobilitas kerja, sehingga memicu tanggung jawab dan keinginan untuk bertahan di perusahaan.
SORTA TOBING | ARBAIYAH SATRIANI | LIVE SCIENCE

0 comments:

Posting Komentar