Home » , , » Berdoa Wajib, Berobat Harus

Berdoa Wajib, Berobat Harus

TEMPO.CO, Jakarta--Merangkai harapan lewat doa, misalnya saat umrah dan haji ke Tanah Suci serta saat Ramadan sekarang, memang membuat hati seseorang nyaman. Namun, bagi penderita gangguan bipolar, doa saja tak cukup. Ia harus tetap rutin minum obat sehingga gangguan jiwa akibat masalah di otaknya tak kambuh. Dalam sejumlah kasus, saat doa dengan khusyuk dipanjatkan dan obat dilupakan, kekambuhan yang terjadi.

Kenyataan pahit itulah yang pernah dialami pasien dokter Nurmiati Amir, psikiater dari Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebut saja namanya Ningrum. Sebelum berangkat umrah, kakak si pasien yang berprofesi sebagai dokter meminta Ningrum tidak minum obat. Alasannya, di Mekah, mereka bisa memanjatkan doa apa pun, termasuk untuk penyembuhan bipolar. Sebagai adik yang baik, Ningrum menuruti kemauan sang kakak.

Lalu, apa yang terjadi? "Di Mekah, gangguan bipolar Ningrum kambuh," kata Nurmiati. Ia berbicara dalam seminar media bertajuk "Tata laksana yang Tepat Meningkatkan Harapan Hidup dan Menurunkan Risiko Komorbiditas pada Gangguan Bipolar". Karena yang muncul adalah periode mania, Ningrum belanja gila-gilaan. Tabungannya terkuras habis. Di pesawat saat pulang ke Tanah Air, Ningrum mulai mendekati lawan jenis sesama anggota jemaah umrah. Nah, agar kondisinya tak makin parah, pengobatan pun dilakukan. Kali ini, untuk pengobatan Ningrum dibutuhkan waktu lebih lama daripada biasanya.

Kondisi serupa juga kerap ditemukan Margarita M. Maramis, psikiater dari Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Surabaya. Kasusnya ditemui pada mereka yang menunaikan ibadah haji. "Doa dipercaya bisa memperbaiki zat kimia di otak," kata Margarita dalam seminar yang sama, "Tapi penderita gangguan bipolar tetap butuh obat untuk menstabilkan zat kimia di otaknya."

Gangguan bipolar adalah gangguan otak yang ditandai dengan perubahan mood alias suasana hati, pikiran, energi, dan perilaku. Penyebabnya multifaktor, seperti faktor genetik atau biologi otak, yang ditandai dengan ketidakseimbangan zat kimia di otak. Di luar saat fase normal, pasien gangguan bipolar berisiko mengalami kekambuhan, baik berupa mania (aktivitas psikomotor yang meninggi), depresi (kesedihan, penarikan diri dari lingkungan yang abnormal), hipomania (mania yang ringan), maupun campuran.

"Sebanyak 50 persen pasien gangguan bipolar mengalami episode berulang dalam waktu dua tahun, meskipun mendapat perawatan di klinik khusus gangguan mood," kata Margarita. Bila perawatan tak dilakukan, ada kemungkinan kambuhnya lebih besar. Mengutip data National Alliance on Mental Illness (2011), ia menyebutkan bahwa penderita gangguan bipolar yang tidak berobat 35-45 persen.

Prevalensi gangguan bipolar saat ini diperkirakan 1รข€"8 persen dari populasi. Repotnya, gangguan ini sering kali tidak terdiagnosis dan mendapat terapi yang tidak tepat. Diagnosis yang tidak akurat, menurut Margarita, dapat meningkatkan angka bunuh diri. Risiko kenaikan bunuh diri mencapai 79 persen pada episode depresi, 11 persen pada episode campuran, dan 11 persen pada mania dengan gambaran psikotik.

Penatalaksanaan gangguan bipolar dilakukan dengan pengobatan, seperti pemberian obat-obatan untuk menstabilkan mood dan antipsikotika atipikal. Agar lebih optimal, kepada si pasien juga dilakukan intervensi non-pengobatan berupa konsultasi ke psikiater, edukasi kepada yang bersangkutan dan keluarga, plus panduan untuk melakukan aktivitas fisik yang tepat. Penanganan yang komprehensif, kata Margarita, "Menghasilkan 70-90 persen perbaikan gejala (remisi) dan peningkatan kualitas hidup pasien bipolar."

Untuk menopang kepatuhan pengobatan agar bipolar tak sering kambuh, peran keluarga sangat penting. Keluarga diharapkan dapat memberi dorongan dan dukungan kepada penyandang gangguan bipolar agar tetap optimistis menjalani hidup. "Mereka jangan dijauhi, tapi harus dirangkul, diberi kenyamanan dan kehangatan oleh orang-orang di sekitarnya," ujar Nurmiati.

Nyonya Nita, pengidap gangguan bipolar yang hadir dan memberikan testimoni membenarkan pentingnya dukungan keluarga. Ia juga mengingatkan perlunya pengobatan rutin, selain rajin berdoa. Agar tak sering kambuh, kata perempuan 48 tahun ini,"Ikuti saja kata dokter."
DWI WIYANA

0 comments:

Posting Komentar