Pendaki Mesti Waspadai Hipoksia


TEMPO.CO, Jakarta - "Tak semua tempat di gunung aman untuk bernapas." Pesan itu selalu disampaikan Koordinator Marhaen Pencinta Alam Jakarta Toto Sunandar kepada setiap peserta pendakian gunung yang berada di bawah supervisinya. Pasalnya, ada beberapa tempat yang mengandung gas beracun atau bahkan hampa oksigen.

"Misalnya di kawah, kadang suka ada daerah hampa oksigen karena perbedaan tekanan udara, dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah," ujar Toto saat dihubungi Tempo pada Kamis lalu, 26 April 2012.

Selain kawah, daerah hampa oksigen yang juga patut diwaspadai adalah gua. "Kita bisa mengujinya dengan melempar api ke dalam," kata Toto. "Kalau apinya langsung mati, jangan coba-coba masuk ke dalam. Itu tandanya tak ada oksigen."

Risiko saat mendaki gunung menjadi perbincangan menyusul meninggalnya Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo di Gunung Tambora, Nusa Tenggara Barat, pada Sabtu dua pekan lalu. Menurut Hendri, dokter yang menangani Widjajono, guru besar Institut Teknologi Bandung itu meninggal karena kelelahan dan sesak napas.

Selain hampa udara, Toto melanjutkan, ada tempat-tempat dengan ketinggian tertentu yang mengandung gas beracun. Gas itu bisa berada setengah meter di bawah tubuh atau setengah meter di atas tubuh.

Menurut dia, kebanyakan kasus kematian pendaki gunung terjadi karena ketidaktahuan mereka ihwal adanya gas beracun tersebut. Kebanyakan dari mereka yang terkena akan mengalami lemas, mual, pusing, dan akhirnya meninggal karena kekurangan oksigen. Istilah kekurangan oksigen ini lazim disebut dengan hipoksia.

"Karena itu, kalau harus mendirikan kemah, sebaiknya agak jauh dari kawah, tidak di dalam gua, dan selalu waspada pada ketinggian tertentu. Sebab gas beracun itu tak kasatmata," kata Toto.

Ari Fahrial Syam, dokter spesialis penyakit dalam dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menambahkan, hipoksia adalah keadaan kekurangan oksigen yang bisa menyebabkan permasalahan kesehatan. Hipoksia terjadi tidak hanya karena berkurangnya kadar oksigen di lingkungan, tetapi juga bisa terjadi akibat kerusakan pada sistem jantung, pembuluh darah, dan sistem pernapasan.

Kadar oksigen yang rendah pada seseorang yang memiliki sumbatan pembuluh darah jantung bakal menurunkan suplai oksigen ke jantung. Kemudian jantung akan mengalami iskemia alias kekurangan oksigen yang dapat berakibat pada terjadinya infark atau kematian jaringan. Sementara itu, pada orang yang memiliki masalah pada pembuluh darah otak, hipoksia dapat menurunkan kesadaran karena kurangnya suplai oksigen ke otak.

Namun, menurut Ari, hal-hal seperti itu tidak akan mempengaruhi kondisi orang yang sudah biasa hidup di tempat yang tinggi. "Pada orang-orang yang memang sudah biasa tinggal di daerah pada ketinggian atau daerah dengan kadar oksigen rendah, biasanya tubuh sudah dapat menoleransi akan kebutuhan oksigen," ujarnya.

Keadaan-keadaan yang dapat membuat kadar oksigen lebih rendah antara lain berada di daerah pegunungan, ruangan tertutup tanpa sirkulasi udara yang baik, atau ruangan tertutup yang dipenuhi asap rokok. "Karena itu, seorang perokok pun dapat mengalami hipoksia kronis yang dapat mengganggu kesehatannya," ujar Ari.

Dalam keadaan hipoksia, seseorang akan mengalami luka di lambung yang dikenal dengan nama ulkus. Istilah ini biasa digunakan untuk menyebut luka terbuka yang terjadi pada permukaan kulit atau selaput lendir. Untuk mengetahui terjadinya ulkus akibat kondisi hipoksia, orang tersebut harus diperiksa di bagian histopatologi. Penelitian membuktikan bahwa orang yang sering berada di dataran tinggi lebih sering mengalami hipoksia hingga pendarahan lambung dibandingkan dengan orang yang berada di dataran rendah.

"Risiko terkena hipoksia juga dipengaruhi faktor umur," kata Ari. Umur 40-60 tahun digunakan sebagai patokan untuk menentukan faktor risiko hipoksia. Saat memasuki usia tersebut, pembuluh darah atau sistem vaskular, baik di otak maupun jantung, berpotensi mengalami gangguan. Karena itu, orang yang sudah berusia lanjut sebaiknya tidak melakukan olahraga berat, seperti naik gunung atau bermain bola.
CHETA NILAWATY P

0 comments:

Posting Komentar